Rabu, 16 Juli 2008

the memory of us....

Dinginnya hujan dan ramainya ribuan tetes air yang menumbuk jendela seakan terendam jauh tenggelam bagi kami berdua. Tak satu pun dari kami yang bicara. Aku yang biasa berkoar pun kala itu bisu dan hanya mampu menatap. Berawal dari satu tatapan. Telaga hitamnya benar-benar menenggelamkanku. Membuai dan menyadarkanku betapa indahnya dia..betapa aku merindukan tatapannya. Sungguh..sepekatnya rindu musim dingin abadi pada mentari..

seketika jari jemarinya yang lembut dan hangat menyentuh kulitku rasanya tiap sudut sukmaku berdenyar..bersorak..dan melambungkan rasa.

Masih terbayang jelas bagaimana ia menyunggingkan senyum penuh artinya itu. Bibirnya yang tipis merona merah dan melengkung indah menyimpulkan satu senyuman..hingga aku pun meleleh dibuatnya..

Semuanya seakan melambat ketika ia meraihku ke dalam pelukannya. Mendekapku erat. Menjalarkan hangat rasa rindunya hingga jantungku berdetak mengalir dan menuruti irama desah nafasnya. Dan ketika ia mengecupku rasanya ada ribuan bintang berpijar dan meletup-letup dari dasar hatiku.. ia tenggelam dalam tengkukku. Membuatku bergidik dan mati terengah berulang kali. Kemudian ia membawaku hanyut dalam ciumannya. Ia begitu lembut. Manis. Hangat membuatku melingkarkan tanganku ke tengkuknya dan tak biarkannya pergi. Aku ingin tetap bersamanya. Mendekapnya erat dan membisikkan kata itu lagi..

Senin, 14 Juli 2008

Alphard

Dia..

ya....dia yang telah berani mengusik sang langit.

Meski hanya dengan berdiam diri.

Bukan berarti ia tak melakukan apa-apa.

Tidak sama sekali.

Sulurnya telah merajai tiap sudut galaksi.

Dan ketika ia tak lagi dapat membakar,

Maka seluruh masa akan membeku.

Mati.

Ananta

Hum...lama juga ya rapatnya. Sudah dua jam ini aku bersama anak-anak ini. Semakin ga jelas aja deh kerjaannya. Dari tadi aku hanya di depan kompu ini. Tidak jelas juga apa yang aku lakukan. Dan semoga saja rapatnya berhasil.

Yang aku dengar, ada pergantian satu dewan. Semoga saja itu tak memberatkan keputusan rapat yang harus diambil. Walau biasanya aku tahu rapat dana merupakan rapat yang paling alot. Terlalu lama dan terlalu banyak yang harus dipertimbangkan. Karena itu aku lebih memilih anak itu yang maju.

*Brakkk!!* tiba-tiba pintu dibanting terbuka. Li masuk dengan nafas terengah-engah dan tampang kesal bukan main. Anak-anak lain juga terkejut dan mereka mulai berbisik-bisik.

Pertanda buruk.

“Le, kenapa lu?”

“Sialan..” ia membuka jasnya dengan kasar, melemparnya ke sudut ruangan.

”Ada apa sih?” aku menghampirinya. Wajahnya kusut bukan main.

”Damn! Dana ga bisa turun..”

”APA?? Serius lu???”

”Iya! Gue udah jelasin perincian proposal kita ke mereka, tapi katanya keputusan hasil rapat sudah ditentukan dan dana diprioritaskan untuk proyek anak padus”

”Padus???? Mereka bikin proyek apa? Kok bisa-bisanya lu kalah sama mereka??”

”Ketuanya baru..dia yang maju againts gue tadi..aarrrgh! sialan!”

Saking kesalnya ia memukul tembok hingga bentuknya jadi cekung. Gila. Baru kali iini si singa betina kalah dalam rapat. Hebat benar yang bisa mengalahkannya seperti ini. Padahal proposal kami sudah disusun demikian rupa. Tanpa kebocoran sedikitpun. Tanpa cacat. Tapi kenapa bisa ga tembus juga seperti ini? Jangan-jangan ada yang ga beres sama dewan kali ini..

”Siapa sih yang maju dari mereka?” aku menatap Li yang belum juga bisa tenang. Ia mengacak-acak rambut nya sendiri dan berjalan mondar-mandir.

”Reiki..”

”Apa?”

Adhara

Malam seharusnya sudah berganti pagi sejak berjam-jam lalu. Namun entah mengapa gelap ini tak terusir. Mataku terbelalak namun tak satu titik cahaya ku dapati. Mungkin mati lampu. Musim hujan seperti ini memang sering jadi mati lampu tiba-tiba. Ku beranikan diriku untuk bangun. Kusibak selimutku. Menggapai ponsel di mejaku dan menatapnya lama. Ada tiga belas pesan masuk. Kubuka yang pertama. Dari nomor tak kukenal. Kosong. Tak ada pesan apapun. Apa mungkin orang iseng? Kubuka yang kedua. Juga kosong. Sekedar menebak, yang selanjutnya hingga yang selanjutnya juga pasti kosong. Ternyata benar.

Heran..siapa sih yang mengirimiku pesan kosong seperti ini? Di saat seperti ini pula. Hum..ya sudahlah..

Aku pun membuka pintu beranda ku. Berharap angin malam dapat menyejukkan pikiranku yang entah kenapa gundah sekali akhir-akhir ini.

Lionel Andromeda..

Nama itu pun terlintas.

Aku juga tak tahu kenapa.

Aku menghela nafasku. Namun tiba-tiba tubuhku seperti tertarik ke bawah dan nafasku tercekat. Dingin menyeruak seluruh tubuhku. Basah.

Aku..

Aku tenggelam..

Nigell

Amanita...humm...” aku menyeruput teh kemudian meletakkannya lagi. Kubuka lembaran ensiklopedia di tanganku dan membaca lebih rinci lagi. Mereka tumbuh di sini tidak ya? Kalau ada bisa ga ya aku tanam? Kalau bisa kan lumayan untuk presentasi tugas akhir.

“Put, ada telepon dari Alya tuh..”

“Alya? Dia mau telpon lagi apa lagi nunggu?”

”Lagi nunggu..udah sana cepetan”

”Iya, makasih ya ma.” aku menutup buku ku dan melangkah mengangkat telepon.

”Halo?”

”Put! Tugas kita kurang refrensi nih..”.

”Lu lagi ngerjain tugas yang mana sih, Al?”

”Ekonomi, Bio, ma Seni”

”Hah? Itu lu semua yang ngerjain?”

”Ga juga..Eko gue ngerjain ma Dita, Seni kan ama lu, nah..bio ma si Eda”

”Eda?” sapa tuh? Aku menarik kursi dan menaruh pantatku. Sepertinya akan jadi perbincangan yang cukup panjang.

”Lionel Andromeda..”

”Oh..si Lili”

”Iya..si kunyuk gila..gue ngerjain bio ma lu aja deh, Put..” rengeknya tiba-tiba.

”Lho? Emang si Lili kenapa? Bukannya bionya bagus? Itu anak kan freaks banget ma biologi”

”Iya..makhluk berkaki dua yang diberi nama ga sesuai aturan binomial nomenklatur itu gue rasa dah bermutasi jadi sejenis mamalia yang demen banget tidur! Masa tiap ke rumah gue yang dicari cuma bantal ma selimut! Apa ga gila tuh!? Gimana mau selesai tugas kita?!” omelnya panjang lebar.

”Hahahaha...kenapa lagi itu anak...yauda..tar gue ngomong deh ma dia..trus, si Andin apa kabar tuh?”

”Ga tau juga ya..katanya si dia harus ke Surabaya minggu ini, jadi ga bisa diganggu”

”Kenapa lagi? ”

”Kakaknya sakit..”

”Oh...yawda..biar posisi dia gue yang gantiin deh, Al”

”Ga apa? Sori banget ya jadi ngerepotin lu banget gini”

”Ga apa lagi..tenang aja..kan buat kita-kita juga kan..yauda, nanti sore gue ke rumah lu ya..kita kerjain bareng”

”Thanks ya, Put”

”Iya..”

Aku menaruh gagang teleponku dan tatapan ku berhenti sejenak pada sebingkai foto kami berenam ketika masih duduk di bangku SLTP beberapa tahun silam. Aku meraihnya. Menatap wajah kami satu persatu.

Dan aku pun teringat

Andromeda

DPR...

Di bawah pohon rindang...

Memang Cuma di sini kurasa aku bisa menenangkan diriku. Di kebun belakang sekolahku tumbuh sebuah pohon beringin yang besarnya bukan main. Mungkin sudah berumur ratusan tahun. Entahlah. Tak satu pun orang berani menebangnya. Orang sini banyak yang percaya kalau tiap pohon tua memiliki penunggu yang akan mengganggu siapapun yang mengusiknya. Daripada didatengin lebih baik diem aja.

Dan tiap aku suntuk aku pasti akan menghabiskan waktuku di sini. Tak peduli hari sekolah atau bukan. Lagipula tak akan ada yang peduli aku di sini. Pak Udin sang penjaga sekolah merangkap tukang kebun saja sudah terbiasa menangkap penampakanku tertidur di bawah pohon ini. Suatu hari tepat di hari ulang tahunku ia membuatkanku sebuah bangku panjang dari bilik bambu.

Hari itu aku hendak menenangkan diriku setelah betengkar hebat di rumah. Dan ketika aku melihat sebuah bangku panjang dari bambu di tempatku biasa berbaring, aku pun terkejut.

”Buat neng yang suka banget tiduran di sini..” katanya sambil tersenyum polos yang tahu-tahu muncul di belakangku.

Aku tercengang. Tak percaya hadiah ulang tahunku malah kudapat darinya.

”Eh? Ini Bapak yang bikin? Buat saya?” lelaki paruh baya itu tersenyum lagi, mengangguk dan berjalan mendahuluiku. Ia duduk di bangku bambu itu dan tersenyum bangga akan hasil pekerjaannya itu. Aku mendekatinya dan duduk.

”Udah lama saya ngga bikin kaya ginian lagi, Neng” ucapnya sambil mengelus pinggiran bangku seperti mengamati dan menilai karya terbaiknya.

”Terus kenapa Bapak bikin ini?”

”Untuk neng...abisnya tiap hari bapak suka liat neng tiduran gitu dibawah sini..sayang bajunya..kotor..apalagi kalo abis ujan”

Aku pun tersenyum. Mendongak menatap dedaunan pohon beringin yang bergerak-gerak tertiup angin. Ssemilir menerpa wajah ku dan aku menghirup perlahan.

”Lha neng sendiri kenapa si suka banget ke sini? Ngga dicariin ma orang rumah?”

”Hum..kalau saya suntuk saya lebih suka di sini, Pak..”

”Tiap hari?”

Aku mengangguk, ”Iya..”

”Lho kok gitu?”

Aku menghela nafas panjang.

”Hum..yaudalah..saya mau nyapu kelas dulu ya, neng” ucapnya sambil bangkit.

”Pak..!”

Ia menghentikan langkahnya dan berbalik.

”Makasih ya, Pak”

Ia tersenyum, mengangguk kemudian pergi sambil bersiul.

Jadi sejak itulah aku jadikan tempat ini sebagai teritorialku. Hum..sebenarnya entah sejak kapan aku mulai ke tempat ini. SD? SMP? Entahlah...Teman-temanku akan mencariku ke sini atau terkadang aku mengadakan perkumpulan di sini kalau ada sesuatu yang harus dibicarakan.

Ketika aku sedang bersiap-siap tertidur saat istirahat jam kedua di bangku bilik kayu ku tiba-tiba aku merasakan tubuhku diguncang-guncang. Aku membuka mataku dan tampaklah muka si Dita yang ngamuk-ngamuk heboh.

”Kucrut lu!! Gue cariin di ruang sekret juga! Ngapain sih lu di sini?? Ada rapat OSIS tau! ”

Aku menguap lebar kemudian duduk untuk merentangkan tanganku dan tubuhku.

”Ngapain lagi sih? Gila apa mereka bikin rapat di jam tidur siang gue! Males ah”

”LU aja yang gila! Masa tidur jam segini!”

”Lha? Kan tidur siang bagus untuk metabolisme tubuh, bukan?”kataku cengengesan. Anak itu makin kesal.

Ia menggaruk-garuk kepalanya dengan serampangan, ”Gue ga mau tau deh! pokoknya lu harus ikut itu rapat! Soalnya gue yakin itu dana ga bakalan turun kalo lu ga ikut!” ia menyeretku begitu saja.

”Iya deh iya..” jawabku malas sambil menguap lebar.

Rapat dewan sekolah.

”Anjrit! ribet banget sih mesti pake jas segala kaya gini! Males ah..”

”AH...cerewt lu! Udah telat juga! Itu xkul kita bergantung ama lu tau!!”

“Eh2..bukannya gue dah lengser Sejak berabad-abad yang silam? Kenapa gue masih diseret-seret kaya gini?”

Dita mendorongku menaiki tangga menuju ruang rapat di lantai tiga.

“Masalahnya gada yang sebebal lu kalo lagi nuntut sesuatu.”

“Sialan lu!” kujitak kepalanya yang ditumbuhi rambut lurus hitam sebahu itu.

“Dah..yang penting itu dana turun dulu deh..kasihan tuh anak-anak tiap ngeliput nguras ongkos sendiri terus. Lagian proyek kita harus jalan taun ini.lu tau itu kan, Li?”

”Iya..iya..bawel lu! Yawda, tapi tar sabtu gue minjem ninja lu ya..gue pengen jalan”

”CBR lu emang masih opname, bu?”

“Iyah neh..sial..yasuw yang penting gue pinjem tar yak..buat jalan.hyehehe”

”Ga sama gue?”

”Ga ah...tar gue dikira cowok lu lagi...males gue...mending cari yang pure feminin aja sekalian”

“Kurang ajar!” ia menjitakku. Aku meringis-ringis kemudian tertawa.

”Yawda..lu tunggu di sekret aja dah..gue masuk dulu ya”

”Eh! Usahain jangan dibawah yang kita minta ya”

”Beres! Lu terima jadi aja deh!”

Minggu, 13 Juli 2008

hmm....


Jinsen wa subarashii natte anata to aetakara..

Isshouni anata to futari eien no ai...

Nyaris tiga masa sudah sejak masa itu.

Aku menatap sebuah cincin platina yang melingkar di jari tengahku. Ia bersinar terpantulkan cahaya lampu kamarku yang sebenarnya nggak pernah diganti dari kapan tahu tapi entah mengapa dia tak juga lelah berpendar. Padahal yang disinari sudah lama ingin bungkam dan lari saja.

Humm...

Dua tahun bukan masa yang singkat menurutku. Tak pernah-pernahnya aku mencintai seseorang sampai sebegininya. Gila. Aku sudah begitu ketakutan dari entah sejak kapan. Takut akan hubungan ini akan berakhir atau gimana tapi...em...aku tak tahu harus berbuat apa. Aku ga sanggup kalau harus meninggalkannya. Tidak. Terima kasih.

Hum....

Kalau ada yang tanya pun aku tak tahu harus jawab apa. Karena dia sudah menjadi bagian hidupku. Dan saat ini tak ada yang aku nanti seperti aku menanti bertemu dengannya. Namun, apa aku masih boleh berharap ketika lembaran itu mungkin kembali tertutup debu atau bahkan terhanyut dalam banjir yang makin menyesakkan ku.

Apa mungkin detik-detik ini masih boleh berlanjut? Terajut sedemikian rupa hingga terjalin dan mengikat.. apa mungkin kata-kata yang menetes deras ini bisa mengalir bebas tanpa ada satu pun penghalang yang bisa saja membuatnya tak jadi bermakna dan terhapus begitu saja sepeti hujan menyapu debu siang hari ketika terik-teriknya.

Humm....

Kalau saja hari itu tidak jadi ada, apa mungkin aku masih orang yang sama? Makhluk bertulang belakang yang terlalu banyak berpikir hingga dapat dengan cepat melupakan apa yang baru saja terpola dengan begitu rapinya.

Di satu daerah terpencil apakah hal ini akan dipertimbangkan? Atau malah karena aku hidup di kota besar yang sibuk dan tak memikirkan masalah pribadi orang kecuali mereka yang disebut artis2 itu hingga masalah ini seakan telah mengambang aman di permukaan.

Dipandang, namun tidak tersentuh.