Selasa, 08 Juli 2008

..............Aku Menangis Untuk Adikku 6 Kali ........

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangatterpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning,dan punggung mereka menghadap ke langit.Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yangmana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya,Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.Ayah segera menyadarinya. Beliau membuatadikku dan aku berlutut di depan tembok,dengan sebuah tongkat bambu di tangannya."Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Akuterpaku, terlalu takut untuk berbicara.Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadiBeliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalianberdua layak dipukul!"Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya danberkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"Tongkat panjang itu menghantam punggung adikkubertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga iaterus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batubata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumahsekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang?Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukankami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkanair mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulaimenangis meraung-raung.Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya danberkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memilikicukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat,tapiinsiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernahakan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikkuberusia 8 tahun. Aku berusia 11.Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ialulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama,sayaditerima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu,ayah berjongkok di halaman, menghisap! rokok tembakaunya, bungkus demibungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikanhasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap airmatanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya?Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayahdan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,telahcukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya danmemukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitukeparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanansaya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitukemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjamuang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke mukaadikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harusmeneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkanjurang kemiskinan i! ni." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidaklagi meneruskan ke universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuhdan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke sampingranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk keuniversitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, danuang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen padapunggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (diuniversitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika temansekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusunmenunggumu di luar sana!"Mengapa ada seorang p! enduduk dusun mencariku? Akuberjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotortertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamutidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab,tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan merekapikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akanmenertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Akumenyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekatdalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalahadikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,"Saya melihat semua gadis kota memakainya.Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Akumenarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kacajendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku."Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untukmembersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalahadikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamumelihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihatmukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya."Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya."Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja dilokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiapwaktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."Ditengah kalimat itu ia berhenti.Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air matamengalir deras turun ke wajahku.Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kalisuamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggalbersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikkutidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja.Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkanadikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemenpemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untukmemperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik,dan masuk rumah sakit. Suamiku danaku pergi menjenguknya. Melihat gips putih padakakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yangberbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapakamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membelakeputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur,dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu,berita seperti apa yang akan dikirimkan?"Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluarkata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan jugakarena aku!" "Mengapa membicarakan masa! lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seoranggadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acaraperayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormatidan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuahkisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD,ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalanselama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.Kakakku m! emberikan satu dari kepunyaannya. Iahanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karenacuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejakhari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjagakakakku dan baik kepadanya."Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamumemalingkan perhatiannya kepadaku.Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depankerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku sepertisungai.




Sumber: Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"

Tidak ada komentar: